Labels

Minggu, 25 Maret 2012

Just For You #Part 1#

>>> 1 <<<

Ayah

Lieselotte Elsa Schlager, itu aku. Aku berasal dari Jerman di kota kecil bernama Bamberg. Kota yang penuh dengan gedung yang megah, cahaya lampu yang indah saat malam, dan udara yang sejuk saat pagi. Di tempat yang istimewa ini aku tinggal.
Di kota ini pulalah aku bersekolah. Kaiser Heinrich Gymnasium. Nama yang sangat menakjubkan. Sekolahku memiliki keistimewaan dibandingkan sekolah lain di Bamberg. Banyak pohon rindang tumbuh di sana. Sehingga banyak siswa - siswa yang duduk di bawah pohon untuk menghindarkan cahaya matahari yang terik saat siang hari. Selain itu, di saat jam istirahat, kantinpun dipenuhi oleh hiruk pikuknya semua warga sekolah. Dengan tergesa, banyak juga yang tidak mengantri hanya untuk memenuhi keluhan bunyi perut mereka. Semua warga sekolah sangat ramah. Hal ini membuatku betah dalam suasana sekolah.
Aku tinggal bersama ibu dan adik perempuanku, Alarice Schlager. Kami tinggal di gubuk yang penuh cinta dan indah. Gubuk kami ini tak jauh dari sekolahku. Tepatnya di jalan Altenburger. Sekolahku terasa hanya sejengkal dari rumah. Terlalu dekat. Tak jauh dari rumahku, ada restaurant yang menyediakan salmon salad kesukaanku. Hmm.. Namanya Koi Restaurant. Jika ibuku tidak memasak, tak lupa ibu membeli makanan kesukaanku ini. Köstlich! Lezat! Ibuku, Arabella Christine tak salah pilih. Seperti ibu memilih ayah. Ayah yang terbaik untukku, adikku, dan tentu ibu.

******


Tiga bulan berlalu. Ibu menjadi lebih pendiam dari biasanya. Tetapi, sepeninggal ayahku, ibuku tetap berusaha untuk mencukupi segala kebutuhan kami, aku dan adikku, Alarice Schlager. Ibuku bekerja sebagai  designer di pusat kota Bamberg, Jerman.
Kehidupanku sekarang memang berbeda dengan dulu. Mungkin, karena ayah telah tiada sehingga aku sering kesepian. Dulu, sewaktu malam ayah sering menemani dalam heningnya malam. Menonton bola bersama sampai bermain monopoli bersama.
“Elsa.” sapa ayah.
Ja? Ya? Ada apa yah?” jawabku polos.
“Ayo, temani ayah. Hari ini ada pertandingan liga Jerman. Jangan sampai kita melewatkannya. Ayah sudah membuat popcorn untuk menemani nonton.” terang ayah.
“Siap yah!” sambil berjalan menuju ruang keluarga. Ruang yang penuh kenangan. Tempat keluargaku sering berkumpul. Tempat yang hangat, penuh akan kasih sayang. Di ruang itu dipenuhi foto keluarga serta lukisan wajah ibuku, karya ayah. Sambil melihat dengan seksama ruang keluarga, aku bertanya lagi.
“Memangnya yang bertanding siapa melawan siapa yah? Yang pasti, ada pemain kesukaanku kan yah?”
“Tentu! Philipp Lahm? Mukanya memang memukaumu ya? Hahahaha..” tawa renyah ayah selalu terbayang – bayang.
“Iya, yah. Selain kapten, dia memang..”
“Memang apa? Tampan? Ok! Ayah akui, dia memang tampan. Sama seperti ayah.” jawab ayah sambil membusungkan dadanya. Bangga.
“Hahaha… ayah tau saja.” mukaku panas. Mungkin sekarang mukaku seperti kulit tomat. Merah.
Pertandingan pun dimulai, dengan seksama aku perhatikan idolaku. Dia memang tampan. Memang benar, tak kalah dengan ayah. Ibu memang tak salah pilih. Idolaku ini memiliki kelebihan, selain tampan dia juga hebat dalam bermain bola. Awalnya, aku terpukau dengan alis tebalnya dan rambut pirangnya. Tetapi, setelah sering menonton bola dengan ayah, aku juga terpukau dengan permainannya. Hebat. Walaupun tak sepenuhnya aku tau tentang permainan bola.
Dulu saat aku tinggal di Indonesia, aku pernah bertemu dengan pemain Bayern München ini. Sekitar tahun 2008, mereka memang mengadakan pertandingannya di Indonesia. Namun sayang, Indonesia kalah. 5 – 1. Tapi aku yakin Indonesia sekarang pasti memiliki pesepakbola yang mahir.
Tiba – tiba…
“Goooool. Wow! Hebat hebat! “seru ayah menyanjung pemain andalannya, Toni Kroos yang tak kalah tampan dengan pemain andalanku, sang kapten.
“Wah, Toni hebat, yah!” ungkapku sambil melahap segenggam popcorn.
“Tentu! Pemain andalan siapa dulu. Beri ayah popcorn juga, Sa.”
Natürlich! Tentu! Aku langsung memberi ayah segenggam popcorn. Ayah terlihat kikuk, karena terlalu banyak popcorn yang kuberikan.
Itulah malam yang selalu kuingat. Malam yang indah ketika ayah masih ada. Malam yang penuh dengan tawa renyah ayah. Malam yang terasa menyenangkan. Sekarang, aku sendiri. Tanpa ayah, menonton pemain andalanku.

******

Sekitar 3 bulan yang lalu ayah meninggal. Saat itu aku sedang sekolah. Kata ibu, ayah mendadak mendapat serangan jantung. Aku kaget ketika guruku memberi kabar ada yang mencariku. Perasaan tak enak membayang – bayangiku.
“Nona Schlager, ada saudaramu yang mencari.”
“Siapa, bu?” tanyaku penasaran.
“Langsung saja temui dia. Dia menunggumu di ruang kepala sekolah.” jawab guruku waktu itu.
Aku langsung menemuinya. Ternyata bibiku. Di ruang yang terasa gelap, aku mendekatinya. Rasanya ada yang kurang beres. Apa? Dengan mata sembab, dia mengabari bahwa ayah telah tiada. Lemas. Aku sedih. Kenapa ini terjadi? Kenapa tuhan? Aku masih membutuhkan ayah. Ayah yang menemaniku belajar, menonton sepakbola, membaca komik bahkan bermain monopoli bersama. Kenapa?
Aku marah. Aku tidak percaya ini terjadi. Bibiku langsung memelukku di kursi tempatnya duduk. Kursi yang dulu juga diduduki ayah saat mengambil hasil kerjaku di sekolah. Kursi yang terletak di dekat pintu dan tanaman hias itu.
Bibi mengusap air mataku dan merapikan rambutku yang berantakan. Aku menangis sejadi jadinya. Mataku panas. Air menetes dari mataku. Aku menangis. Mendengar kabar ayah, aku tak sabar dan meminta bibi Aku memintanya untuk mengantarku pulang cepat – cepat. Dengan terburu – buru ingin melihat keadaan ayah, aku berlari kearah mobil bibi.
Di mobil aku tak tenang. Rasanya ingin cepat sampai di rumah.
“Elsa, sudahlah. Jangan gusar. Tenanglah sedikit.” seru bibi dengan suara paraunya.
“Baik bi. Maaf.”
“Tidak apa. Janganlah bersedih. Mungkin ini yang terbaik untuk ayahmu. Tuhan Maha Tau apa yang terbaik untuk umatnya.”
“Aku tau bi. Tapi, aku hanya belum bisa menerima semua ini. Belum…” jawabku sedih.
“Bibi tau. Bibi juga sudah pernah merasakan itu. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Karna semua yang sudah terjadi tidak akan kembali lagi, kan? Penyesalan juga tidak akan menyelesaikan masalah.”
“Iya bi. Danke. Terima kasih.“ jawabku. Aku melihat bibi tersenyum walau air matanya masih mengalir.

******

Sampai di rumah, aku melihat ibu dan adikku menangis. Di dekat peti ayah. Mereka kehilangan sosok yang sangat dicintai. Sosok ayah. Sosok yang baik hati, murah senyum, dan ramah. Sosok ayah yang pasti didambakan semua orang. Kakiku terasa lemas. Susah berjalan. Bibi memeluk dan membantuku berjalan. Mendekati peti ayah, dengan ibu dan adik di dekatnya.
Saat itu, aku hanya menyesal. Mengapa aku yang terakhir yang tau? Aku mendekati peti ayah lebih dekat. Aku melihat ayah. Dengan tuxedo hitamnya dan dasi kupu – kupunya merahnya yang terlihat gagah. Aku melihat ayah tersenyum. Saat itu, aku tersadar. Ayah bahagia. Mengapa aku bersedih? Seharusnya aku bahagia, ayah sudah kembali kepada-Nya. Hanya aku belum ikhlas saat itu. Aku sempat marah. Kenapa ayah secepat itu pergi meninggalkanku? Lalu, aku teringat kembali kata bibi. “Penyesalan tidak akan menyelesaikan masalah.” Kata yang sangat cocok dengan keadaanku saat ini. Setelah berdoa untuk, peti ayah dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Ayah dihantarkan ke tempat ayah sekarang. Mataku terasa berat. Pedih setelah menangis. Ayah telah pergi, aku akan mencoba untuk tetap menjalani lika – liku kehidupan walau tanpa ayah.
Fighting. Aku berteriak dalam hati, mencoba menyemangati hidupku ini.


******


Aku melihat ibu duduk terdiam. Di dinginnya hujan yang deras, ibu melihat setiap tetesan air hujan yang jatuh di dekat jendela kamar utama. Ibu duduk di kursi goyang yang biasanya diduduki ibu untuk merajut pakaian untuk adikku dan aku. Tetesan air hujan tadi ditemani dengan turunnya air dari mata biru ibu. Ibu menangis. Cuaca hari ini mendukung suasana hati ibu yang masih kelabu.
Aku sedih melihat ibu yang tidak semangat. Dengan hati – hati kudekati ibu. Kurangkul tubuh ibu dari belakang. Tubunya hangat. Sangat hangat. Membuatku nyaman. Tak terasa aku juga meneteskan air mata.
“Sudah bu. Jangan bersedih. Jika ibu seperti ini terus, tidak akan kenangan itu terulang.” jelasku sambil menyuplik kata bibi.
Ich weiß, Liebes. Aku tau, sayang. Ibu hanya belum bisa melupakannya sepenuhnya.“ jawab ibu lemah.
“Bukan berarti ibu kehilangan ayah, lalu melupakannya kan? Jangan seperti itu bu. Jangan terus bersedih. Ayah yang melihat kita di atas sana pasti juga akan bersedih.” terangku bijak.
Ibu lalu berdiri dari kursi goyangnya. Selimut yang menyelimuti ibu dari dinginnya malam diangkat dan diletaakkannya di kursi. Ibu memelukku. Hangat sekali. Aku merasa ibu akan segera berubah. Tidak akan meratapi kehidupannya tanpa seorang suami, ayah.
“Aku berharap ibu tidak akan bersedih lagi. Ibu janji?” tantangku sambil menunjukkan jari kelingkingku tanda berjanji.
“Ibu janji.” jawab ibu dengan senyum lebarnya ditambah dengan mengkaitkan jari kelilngking ibu dengan jariku. Ibu sudah berjanji. Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk tidak meratapi kesedihan.
Tiba – tiba, pintu terbuka. Terlihat adikku membawa boneka dengan mata sayunya tanda bangun dari tidur lelapnya. Rupanya dia mendengar pembicaraanku dengan ibu.
Aku dan ibu berjalan mendekatinya. Kami memeluknya. Mukanya tampak bingung. Tapi tetap kami peluk untuk menghilangkan sedih kami. Pelukan ibu bertambah erat. Aku bahagia. Semoga kebahagiaan ini tidak cepat berakhir, berbeda dengan kesedihan. Semoga cepat berakhir.

                                        

11 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. wah, ceritanya udah nambah. harus baca nih.. *udah diralat juga
    butuh kritik dan saran, teman :)

    BalasHapus
  3. Blogwalking2,,,
    Blogrunning2,,,

    Visit us!!
    divisikoppasus.blogspot.com
    ______________________
    Operator kelas XI IPA 5
    KoppasusKonyek!!

    BalasHapus
  4. anatashia rosa ferella28 Maret 2012 pukul 10.30

    siph, saturnus gong pokoke

    BalasHapus
  5. Semangat terus saturnus....

    BalasHapus